Sulap Ban Bekas Jadi Sofa, Eko Mampu Hidupi 84 Santri Miskin dan Yatim

<
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qalbi Kelurahan Keniten, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Eko Rosandi menunjukkan bangku santri (kursan) hasil karya santrinya.

PONOROGO, KOMPAS.com - Keikhlasan dan tekad Eko Rosandi (40) mengasuh santri-santri tak bisa dari hasil usaha ban bekas menjadi berkat tersendiri bagi pria asal Kelurahan Keniten, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Keuletannya berkreasi menyebabkan ban bekas yang biasanya banyak hanya tersimpan di gudang atau menumpuk di bengkel-bengkel kendaraan beroda empat menjadi bernilai ekonomis tinggi.

Tampak tumpukan bangku berbentuk bundar dengan beragam warna terpajang di depan rumah. Sofa-sofa bagus ini diberi nama sofa Kursan yang memiliki kepanjangan bangku santri.

"Saya tidak menduga bangku kreasi berbahan ban bekas saya bisa laku dan diterima masyarakat. Padahal materi utamanya ban bekas kendaraan beroda empat yang saya beli dari bengkel-bengkel yang ada di Ponorogo," ujar Eko, Senin ( 23/10/2017).

Eko menceritakan awal mula memiliki pandangan gres untuk membuat bangku dari ban bekas yaitu semenjak 2015. Sebelumnya, ia sudah menggeluti kerajinan ban bekas, namun hanya berupa daerah sampah. Lantaran ingin menyebabkan ban bekas bernilai jual lebih tinggi, lalu ia memiliki pandangan gres membuat sofa atau bangku dari ban bekas.

Berbekal tekad yang tinggi, awal 2017 ia mencoba membuat satu set bangku dan meja dari ban bekas. Tak dinyana, bangku besutannya disukai temannya dan pribadi laku terjual.

Setelah terjual perdana, Eko mulai menerima banyak pesanan bangku dari ban bekas. Apalagi menjelang lebaran seruan pembuatan bangku ban bekas ini semakin tinggi.

"Kursi dan meja ban bekas saya dikenal banyak dari lisan ke mulut," ungkap Eko.

Eko mengatakan, satu set mebeler yang dijual terdiri empat bangku dan satu meja. Untuk proses pembuatannya, awalnya ban bekas dibersihkan kemudian adegan tengah dipasang karet dan diberi busa. Setelah karet dan busa menyatu, barulah ditutup dengan kain vinyl dan kemudian distaples.

Agar terlihat kokoh, bangku dipasangi empat besi sebagai kaki. Sedangkan meja dipasangi empat besi sebagai kaki dan beling di atasnya.

Eko menjelaskan, pembuatan satu set meja bangku membutuhkan waktu sekitar tiga hari. Untuk mempercepat penyelesaian pekerjaan, Eko dibantu bawah umur asuhnya.

Suami Triana Sari Tilawah ini membanderol harga satu set bangku dan meja ini Rp 1,6 juta sampai Rp 2,5 juta. Perbedaan harga dipengaruhi dari kain vinyl dan kualitas busa yang digunakan.

"Makin bagus kualitas kain vinyl dan busanya, maka harganya akan semakin mahal," terperinci Eko.

Kerapian hasil kerja bangku meja dari ban bekas menjadi daya tarik tersendiri. Buktinya pemesan bangku meja dari ban bekas tidak hanya dari Ponorogo saja. Eko mengaku bangku meja buatannya itu sudah dijual sampai Depok, Tasikmalaya, Sidoarjo dan Jombang.

Untuk memperlebar jaringan penjualan, lanjut Eko, ia terus berinovasi. Ia menambah sandaran di bangku tersebut serta membuat bentuk lain yang menarik.

Hidupi 84 anak asuh

Dari hasil inovasinya berkarya, selain menghidupi istri dan tiga anaknya, Eko bisa membiayai hidup dan sekolah 84 anak asuh di pesantren. Anak asuh yang dibiayai berasal keluarga tak mampu.

Bahkan pondok pesantren yang ditempati 84 anak asuhnya itu dibangun sendiri dari hasil penjualan mebel berbahan ban bekas. Seluruh kebutuhan pondok pesantren berjulukan Nurul Qalbi yang dibangunnya itu ditanggung Eko dan istrinya, Triana Sari Tilawah yang juga memiliki usaha salon kecantikan.

Eko mengaku mulai mencari dan membiayai sekolah bawah umur tersebut semenjak tahun 2012. Saat itu, Eko bersama istrinya tergerak hati untuk membantu bawah umur yang tidak mampu.

Sebagai langkah awal, Eko meminta pemberian tetangga dan kerabatnya untuk mencari bawah umur dari keluarga kurang bisa dan yatim piatu. Setelah itu, bawah umur tersebut dimasukkan ke Ponpes Nurul Qalbi dan disekolahkan di Madarsah Aliyah Entrepreneur yang juga berada di komplek ponpes tersebut di Kelurahan Keniten, Kecamatan Ponorogo.

"Biasanya saya mengambil anak yang sudah lulus SMP. Mereka yang saya biayai saya utamakan dari kalangan tidak bisa dan yatim maupun yatim piatu. Mereka kemudian saya ajarkan mengaji dan sekolah di MA itu," kata Eko.

Di pondok pesantren dan MA itu, lanjut Eko, seluruh santri yang sebagian besar perempuan diajari untuk berwirausaha. Diharapkan setelah lulus sekolah, mereka bisa membuka usaha gres atau melanjutkan kuliah.

Jumlah anak asuh yang sudah lulus mencapai ratusan orang. Makara dikala lebaran tiba, banyak alumni santri yang datang ke pondoknya.

Anak-anak yang sudah masuk pondok, demikian Eko, dijamin tidak dibebani biaya apapun. Selama di pondok, bawah umur asuhnya hanya diminta untuk mencar ilmu dan mengaji.

Untuk mengurus ponpes dan sekolah Eko dibantu sejumlah guru untuk mendidik dan mengolala ponpes. Selain itu, ada donatur dari luar yang ingin membantu pondok pesantren namun tidak banyak.

Bagi santri yang sudah lulus, ia memberi kesempatan untuk mencar ilmu berwirausaha di tempatnya. Saat ini ada empat santri yang membantu produksi awal dan finishing.

Sementara santriwati, Eko memberi mereka kesempatan untuk mencar ilmu di salon kecantikan milik istrinya. Kebanyakan yang bekerja di daerah usahanya yaitu santri yang melanjutkan ke sekolah tinggi tinggi.

Eko merasa senang dikala bisa membantu keluarga kurang bisa dan memperlihatkan jalan bagi bawah umur untuk menerima masa depannya. Kendati demikian, Eko tidak pernah melupakan keluarganya. Ia tetap memenuhi seluruh kebutuhan keluarga serta pendidikan anaknya.

Penulis: Kontributor Madiun, Muhlis Al Alawi


Sumber today.line.me

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sulap Ban Bekas Jadi Sofa, Eko Mampu Hidupi 84 Santri Miskin dan Yatim"

Posting Komentar