Saat 6000 Ulama dan Keluarga Dibantai Sultan Mataram Islam

<
Ilustrasi Amangkurat I. tirto.id/Gery

Baru-baru ini, Bupati Tegal Enthus Susmono, berpidato di depan makam Sultan Amangkurat I dalam program jamasan. Bupati yang merupakan seorang dalang itu mencanangkan nama kabupaten yang dipimpinnya menjadi Tegal Hadiningrat semoga lebih terjalin korelasi bersahabat antara Tegal dengan Surakarta Hadiningrat.

“Ini hasil pertemuan dengan keluarga Keraton Surakarta Hadiningrat,” katanya.

Enthus yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai santri dan diusung Partai Kebangkitan Bangsa, agaknya perlu membaca lebih banyak riwayat Amangkurat I. 

Dendam Berkarat yang Menjadikannya Biadab

Amangkurat I menghabiskan malam di pendapa keraton Plered sembari berpikir keras: bagaimana cara terbaik membalas dendam kepada mereka yang mbalelo.

Dua hari sebelumnya, terjadi insiden yang membuat ia murka. Pangeran Alit, adiknya sendiri, berusaha menyerang istana dan mendongkelnya dari tahta. Sang adik tewas terbunuh. Ia terang senang. Tapi yang terus menggelayuti pikirannya adalah: apa langkah berikut untuk membasmi kelompok yang selama ini dicurigai berkomplot dengan adiknya?

Saat itu ia gres dua tahun menduduki singgasana yang diwarisi dari ayahnya, Sultan Agung, yang wafat pada 1645.

Amangkurat I digambarkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and and Economy in Java 1677-1726 (1993) sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai” (hlm. 31).

Dengan sedikit sekali perhatian kepada keseimbangan politik—sesuatu yang amat diharapkan dalam pemerintahan Jawa kala ke-17—Amangkurat I mencoba membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri. Akibat prilakunya itu, ia terasing dari semua aparatus pemerintahan dan elemen-elemen yang biasanya menjadi episode konsensus: para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.

Amangkurat I juga dianggap tidak memiliki kualitas kebajikan yang harus dimiliki seorang raja. Dalam Serat Jaya Baya, kitab diam-diam yang dianggap sakti alasannya yakni mampu meramal masa depan, Amangkurat I dilukiskan dengan metafora negatif: Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" maksudnya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh tanpa guna.

Malam itu, setelah menemukan cara membalas dendam, Amangkurat I memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap. Ia merencanakan balas dendam tanpa mengakibatkan kesan dialah otak di balik rencana itu. Keempat orang tersebut (Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra) yakni orang-orang kepercayaan sang raja.

Bersama anak buah masing-masing, mereka mendapatkan perintah untuk menyebar ke empat penjuru mata angin. Seperti diungkap sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), sang raja berpesan agar: “Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan” (hlm. 38).

Dan semoga rencana berjalan lebih baik, mereka diminta menyelidiki lebih dahulu nama, keluarga, dan alamat para pemuka agama tersebut. Bagi Amangkurat I, ini siasat bagus semoga para pengkhianat mampu dilibas dalam sekali pukul.

Ketika permufakatan keji mulai dilakukan, Amangkurat sengaja tidak menampakkan diri di luar keraton. Semua sidang peradilan dan pisowanan yang melibatkan dirinya berpindah di dalam istana. Ia memilih berkonsentrasi penuh semoga rencananya berlangsung dengan lancar.

Setelah semua informasi yang diharapkan sudah terkumpul, ia memberi perintah-perintah terakhir kepada empat orang itu. Ia meminta mereka semoga bertindak sebaik-baiknya dan “membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak”. Aba-aba dimulainya pembantaian berupa suara letusan meriam Ki Sapujagat yang terpasang di halaman keraton.

Alun-Alun yang Berdarah

Saat semua persiapan sudah dilakukan, pasukan pembantai pun mulai berangkat ke kediaman para calon korban. Amangkurat I, penguasa yang digambarkan Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) sebagai “raja yang istimewa lalimnya”, mengamankan diri di dalam keraton dengan penuh ketakutan. Bahkan di bawah penjagaan ketat para pengawal pribadinya yang paling berpengaruh dan mampu dipercaya, ia masih merasa was-was dengan keputusannya sendiri.

Tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung. Babad-babad Jawa semuanya diam ketika memasuki fase paling mengerikan dalam sejarah Mataram ini. Satu-satunya sumber yang mampu diandalkan hanyalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang ketika itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).

Tapi yang pasti, pembantaian berlangsung amat cepat, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. Hari itu, di suatu siang yang terik tahun 1648, sekitar 6000 ulama dan keluarga mereka yang menetap di wilayah kekuasaan kerajaan Mataram harus mati alasannya yakni kekejian sang raja.

Mengutip keterangan van Goens dalam catatannya, H.J. de Graaf menggambarkan: “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar suara tembakan, 5 hingga 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.”

Seperti biasa, Amangkurat I selalu ingin tangannya bersih. Ia mengelakkan tanggung jawab atas tindakan kejinya itu. Esok hari setelah pembantaian berlangsung, ia tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut. Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam.

“Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.

Dan di sinilah kedegilan Amangkurat I makin terlihat. Setelah mengucap beberapa kalimat yang menuduh para ulama yang bersalah atas maut Pangeran Alit sehingga pantas mendapat jawaban setimpal, ia memerintahkan delapan pembesar yang dicurigai untuk diseret ke hadapannya. Mereka dipaksa mengaku telah merencanakan makar kepada Sunan dengan mengangkat Alit menjadi raja. Dalam situasi macam itu, tak ada yang mampu mereka lakukan selain mengaku. Delapan pembesar itu hasilnya bernasib sama dengan para ulama: mereka beserta seluruh keluarganya dibunuh.

Sang raja kemudian masuk kembali ke dalam keratonnya dengan penuh amarah. Seperti dicatat van Goens, “Ia meninggalkan semua pembesar yang sudah bau tanah dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran.”

Despot yang Mati dalam Pengasingan

Masa pemerintahan Amangkurat I memang dikenal sebagai zaman paling kelam dalam sejarah Jawa modern. Bukan hanya lantaran kelaliman rajanya, tapi juga mulai menampakkan tanda-tanda jikalau Kerajaan Mataram sudah melemah. VOC makin berpengaruh di pantai timur laut Jawa. Sementara basis-basis ekonomi kerajaan kian tergerus oleh agresivitas maskapai dagang Belanda itu.
Sumber today.line.me

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saat 6000 Ulama dan Keluarga Dibantai Sultan Mataram Islam"

Posting Komentar